Dua kata ini, social entrepreneur, sedang ‘naik daun’ belakangan ini di negeri kita, meski kata ‘entreprenuer’ sendiri sudah semakin menggema di 5-10 thn terahir terutama bila dikaitkan dengan fakta hubungan antara tingkat kemajuan ekonomi suatu negara dan tingkat entreprenurship di kalangan warganya. Dan kita semua tahu bahwa entreprenuership artinya adalah kewirausahaan dan pelakunya disebut pengusaha atau entreprenuer.
Sebagian kalangan ekonom mempersyaratkan jumlah pengusaha suatu negara minimum ada di 4% dari jumlah penduduknya. Indonesia saat ini masih di bawah 2% atau tepatnya 1.56% ( angka ini tidak memasukkan pengusaha mikro yang umumnya adalah pekerja mandiri). Amerika saat ini di 12%, china dan jepang 10%, singapura 7%, dan Malaysia 5% ( Business.Com, 18 maret 2013).
Lantas apa pula social entreprenuership ? Atau social entrepreneur ? Apakah pengusaha yang berjiwa sosial yang suka berderma ? Apakah para social entrepreneur ini menjadi bagian dari penumbuhan entrepreneur atau mungkin nanti akan muncul entrepnreneur ‘lain’, artinya orang-orang yang awalnya tidak tergerak menjadi entrepreneur, tetapi kemudian memilih jalur ini karena pertimbangan sosial.
Di sinilah pentingnya kita buka diskusi kita melalui artikel ini selama 8 bulan ke depan untuk lebih dalam melihat apa sesungguhnya ‘social entrepreneur’ itu, dan bagaimana kita bisa ‘membedah’ dan merekonstruksi kehidupan sosial kita (bukan hanya kehidupan ekonomi), melalui pengembangan konsep social entrepreneurship di banyak elemen masyarakat. Rekonstruksi kehidupan sosial inilah yang akan menjadi aspek terpenting karena terkait dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Agar kita bisa melihat perspectivenya dengan lebih ‘tuntas’, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu sejarah awal mengapa manusia ‘turun’ ke bumi dan koneksitas nya hingga mengapa social entrepreneurship dibutuhkan.
Sejak masa awal penciptaannya, manusia memang selalu tidak pernah puas.Apa buktinya ? Secara sederhana, binatang tidak pernah ‘penasaran’ untuk mencoba apa yang bukan menjadi ‘hak’ nya. Nabi Adam ? Nanti dulu, justru buah yang dilarang lah sebagai simbol awal ketidakpuasan manusia. Dan karena ketidakpuasan itu pulalah sebetulnya manusia ‘turun’ ke dunia. Artinya, memang sudah diciptakan ‘rasa’ tidak puas dalam blue print dna manusia oleh sang Maha Pencipta.
Dan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya dan ekonomi, jelas tampak terlihat bahwa tingkat kepuasan manusia semakin sulit dipenuhi. Meski terkadang, tingkat kepuasan itu telah dipengaruhi atau bahkan diciptakan oleh produsen akibat tingginya tingkat persaingan di antara mereka dalam merebut pangsa pasar bagi produk mereka. Di titik ini, entrepreneurship kembali memainkan peran sebagai pencipta inovasi dan pengambil resiko.
Apa yang menarik dari ini semua ? Tidak ada yang khusus kecuali fakta bahwa manusia akan saling bersaing untuk memenuhi ‘ketidak-puasanya’ itu dengan berbagai cara yang mereka kehendaki, apalagi di masa-masa awal ‘non-peradaban’. Dan ini sejalan dengan hukum ekonomi bahwa sumber daya yang ada ternyata tidak pernah cukup untuk memenuhi ‘ketidak-puasan’ manusia. Dan dari sinilah muncul persaingan antar sesama manusia untuk mencukupi rasa ‘ketidak-puasannya’ itu.
Dalam konteks bersaing, tentu akan ada kelompok yang kalah, dan ada kelompok yang menang. Kelompok yang menang ini seiring dengan waktu memiliki tingkat kepuasan ekonomi lebih tinggi dari pada kelompok yang kalah. Dan seiring dengan waktu, bila kita sederhakan proses perubahannya, kelompok yang menang ini akan merasa ‘berlebih’ dan sudi berbagi dari apa yang mereka miliki kepada kelompok yang kalah. Inilah cikal bakal kegiatan ‘philantropic’ sebagai pemecahan kebutuhan sosial masyarakat yang ‘tergabung’ dalam kelompok yang kalah tadi.
Seiring dengan pertumbuhan kompleksitas kehidupan sosial masyarakat, dibentuklah institusi negara yang mengatur hubungan antar warga nya dengan keadilan sebagai salah satu parameter penting dalam keberhasilan pengelolaannya. Dengan asas ‘keadilan’ , tentu diharapkan, setiap orang diberikan jaminan atas akses yang sama terhadap berbagai sumber daya yang dikuasai atau dikelola oleh negara.
Namun pada kenyataannya, tetap saja ada ‘deviasi’ pada proses pemenuhan asas keadilan dan berakhir pada ketimpangan kehidupan sosial masyarakat. Negara pun membentuk lembaga sosial, masyarakat pun demikian. Dengan berbagai alasan dan motivasinya, banyak orang dan kelompok ‘berlomba-lomba’ untuk membantu kelompok manusia yang ‘kalah’ tadi.
Selesaikah permasalahan awal tadi , yaitu ‘tidak terpenuhinya’ kepuasaan di kelompok yang kalah ? Ternyata tidak. Mengapa ? Karena ‘pemberian’ secara philantropic selalu bermakna terbatas, sementara kebutuhan manusia ‘tidak’ terbatas. Sehingga diperlukan penumbuhan kemampuan dalam diri setiap manusia untuk bisa ‘bertanggun-jawab’ dlm rangka memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Di titik inilah , konsep entrepreneurship menjadi sangat penting. Di dalamnya terkandung makna ‘mencipta, memulai, mengambil resiko, memimpin perubahan, inovasi dan kreativitas.
Lantas apa yg dimaksud dengan social entreprenurship ? Secara bebas saya. ‘Definsikan’ bahwa social entrepreneurship adalah proses / pola pikir penyelesaian masalah melalui penciptaan atau pengembangan inovasi yang secara jelas dan terukur bisa menyelesaikan permasalahan sosial seperti pengangguran, lingkungan yang rusak, ketia-daan lahan produktif untuk pertanian, ketiadaan ‘ide’ atau program kerja untuk meningkatkan kapasitas atau produktivitas diri.
Dan mengapa harus dengan pendekatan entrepreneurship ? Selain karena permasalahan sosial akan terus ada , masalah nya sendiri akan terus berkembang seiring dinamika kehidupan masyarakat, dan terlebih penting lagi, manusia pada hakekatnya mengingnkan ‘kelebihan’ atau hasil dari setiap aktifitasnya. Pada titik ini, entrepreneurship menawarkan ‘kelengkapan’ pola pikir dan tindakan yang menciptakan sambil menawarkan nilai lebih bagi pelakunya. Semenatara tindakan philantropic sendiri ‘terbatas’ dan tidak berkelanjutan. Dia sangat bergantung pada kondisi si pemberi.
Dalam 7 bulan ke depan, kita akan mengupas lebih luas dan lebih dalam berbagai aspek sosial dan bagaimana social entrepreneurship bisa ikut menyelesaikannya dengan baik.
Yang lebih indah lagi, dengan konsep ini, penyelesaian masalah sosial bukanlah lagi semata tindakan ‘filantropic’ yang secara ‘kasat mata’ akan mengurangi ‘isi kantong’ si pemberi, mengambil energy tanpa ganti ( minus pendekatan spiritual / agama yang kita pahami); tapi telah menjadi arena penumbuhan nilai diri, nilai produk /jasa, kreativitas yang menyegarkan dan selalu memberikan keuntungan ekonomi meski orientasi keuntungan itu bukan berangkat dari rasa ‘greed’ (ketamakan), melainkan ‘ekses’ dari pola kerja entrepreneurship.
Dengan 240 juta lebih penduduk indonesia, kekayaan alam yang berlimpah, keanekaragaman budaya dan kreativitas, seharusnya social entrepreneurhsip akan menjadi pola pertumbuhan baru bagi ekonomi indonesia, sekaligus penumbuhan harkat martabat manusia sejati, yaitu manusia yang tidak lagi bergantung atau secara ‘sengaja’ menggantungkan hidupnya secara terus-menerus pada pihak lain.